Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 12/2007 dan Kompilasi Hukum Islam, telah mengatur tentang poligami. Lalu buat apa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengatur kembali?
Ini menjadi pertanyaan banyak pihak saat ini. Tak hanya heboh di Aceh, poligami juga direspon oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Pro-kontra pun terjadi. Menjadi viral media sosial, hingga menjadi topik hangat perbincangan di setiap warung kopi di Aceh.
Alasan DPRA membuat Raqan ini karena maraknya nikah siri di Aceh. Dewan berkeinginan untuk mengatur agar tidak ada lagi nikah di bawah tangan, agar perempuan dan anak tidak menjadi penyintas pria yang lebih dari satu istri.
Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) memiliki cara pandang sendiri soal poligimi. Pernikahan siri justru banyak terjadi selama Aceh masih berkonflik dan paska tsunami.
RPuK mencatat ada sekitar 19.000 pasangan yang menikah saat konflik dan korban tsunami yang masih membutuhkan itsbat (penetapan) nikah secara gratis. Sebaiknya pemerintah Aceh harus mengutamakan dampak pernikahan siri yang terjadi saat konflik dan paska tsunami.
Sekretaris Eksekutif RPuK, Laila Juari menyebutkan, sebab pernikahan siri pada masa konflik karena proses administrasi tidak dapat berjalan seperti biasanya. Sebab lainnya seperti ketidakamanan pada saat itu, kemiskinan, akses pelayanan jauh ke kantor KUA.
Proses yang berbelit dan pengetahuan masyarakat (khususnya perempuan) di daerah-daerah terpencil yang sangat terbatas tentang pentingnya pencatatan pernikahan. RPuK menilai menjadi penyebab banyaknya nikah siri pada saat Aceh konflik dan paska tsunami.
“DPRA tidak perlu mengaturnya lagi dalam Qanun Aceh. Kecuali hal-hal khusus yang berkembang dan membutuhkan penanganan mendesak. Seperti mengenai pernikahan siri yang juga banyak terjadi pada masa konflik Aceh dan masih menyisakan berbagai persoalan akibat ketiadaan administrasi kependudukan,” kata Laila.
Kata Laila, harusnya dengan anggaran yang besar melalui otonomi khusus. Pemerintah Aceh dapat mengalokasikannya untuk mempercepat proses penertiban pencatatan administrasi kependudukan tersebut.
Karena sejak disahkannya Pergub Nomor 25 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengesahan Pernikahan (Itsbat Nikah) Pelayanan Terpadu Satu Hari, tercatat setiap tahunnya Pemerintah Aceh hanya mengalokasikan anggaran untuk 1.000 – 1.600 pasangan.
“Seharusnya Pemerintah Aceh lebih mengutamakan menyelesaikan dampak pernikahan siri pada masa konflik dan tsunami. Bukan malahan melegalkan poligami (Raqan Hukum Keluarga),” ungkapnya.
***
Ada 200 pasal Rancangan Qanun (Raqan) Hukum Keluarga yang tengah dibahas DPRA di masa akhir jabatannya. Raqan ini sebenarnya biasa saja, tetapi yang membuat seantero Aceh hingga ke Jakarta heboh adanya pasal yang mengatur tentang poligami.
Pada dasarnya poligami sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam undang-undang tersebut sudah cukup terang penjelasannya negara membolehkan poligami, kecuali Aparatur Negara Sipil (ASL) dan juga pejabat negara.
Menyikapi bola panas yang beredar di tengah-tengah masyrakat sekarang. Wakil Ketua Komisi VII DPRA, Musannif menjelaskan, lahirnya Raqan tersebut untuk melindungi perempuan dan anak.
Keresahan selama ini banyak yang nikah siri, terutama pejabat dan anaknya tidak masuk dalam daftar keluarganya. Selain itu juga dinilai tingginya angka penceraian di Aceh, bahkan melebihi rata-rata nasional menjadi alasan kuat melahirkan Raqan tersebut.
“Dalam qanun itu, salah satu babnya mengatur tentang poligami. Poligami itu pada dasarnya dalam hukum Islam yang kita tahu dan di dalam Alquran pun diperbolehkan,” kata Musannif, Selasa (9/7/2019).
Kata Musannif, DPRA sedang berkonsultasi dengan Kementerian Agama untuk menyesuaikan dengan undang-undangan perkawinan. Kementerian Pemberdayaan Perempun dan Perlindungan Anak juga diminta masukan. Agar qanun ini bisa melindungi perempuan dan anak dari nikah sari.
“Justru ini tidak mengkerdilkan kaum perempuan, melainkan melindungi kaum perempuan dan anak-anak,” ungkap politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Katanya, Raqan ini juga akan dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Dewan akan mengundang seluruh media, aktivis perempuan, LSM perempuan juga pegiat- pegiat gender, pegiat HAM dan pemerhati anak untuk membahas dan mendiskusikan hal tersebut secara bersama-sama.
“Tujuan disahkannya qanun itu supaya bermanfaat bagi masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu Komnas Perempuan menilai Raqan tersebut hanya mengedepankan syahwat. Mereka memandang poligami termasuk bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pihaknya berharap praktik poligami ini dilarang, karena hanya menguntungkan pihak pria saja.
“Prihatin, ekspresi cara pandang patriarkis, hanya mengedepankan syahwat, tidak memperlakukan perempuan dengan hormat. Data Komnas Perempuan dari pengaduan yang selama ini masuk, perempuan dan anak korban paling menderita dari praktik poligami,” kata komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny Minggu (7/7) seperti dikutip dari detik.com.
Venny menilai DPRA tidak perlu membuat qanun yang mengatur tentang poligami. Undang-undang Perkainan sudah sangat jelas mengatur tentang itu. Termasuk sanksi bagi pria berpoligami, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Kalau beristri lebih dari seorang tidak memenuhi syarat, alasan, dan prosedur, itu menjadi tindak pidana. Kejahatan tentang asal-usul perkawinan,” ujarnya.
Aktivis Balai Suro Suro Inong Aceh, Norma Manalu menilai Raqan yang mengatur tentang poligami sama sekali tidak penting. Dalam hukum Islam dan undang-undang perkawinan sudah jelas aturannya.
“Jadi mengapa harus disibukkan lagi sampai membuat qanun,” imbuhnya.
Kata Norma, ada banyak hal lain yang harus menjadi diutamakan. Seperti mengendalikan inflasi, pemberantasan kemiskinan, penganguran hinnga kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Semestinya ini harus menjadi perhatian khusus pemerintah.
Penulis : Fitri J
Editor : A.Acal
Discussion about this post