• #5380 (tanpa judul)
  • Beranda
    • Dinsos Aceh Salurkan Bantuan Banjir untuk Aceh Barat, Nagan Raya, dan Abdya
  • Harga Gula Di Aceh Capai 17 Ribu Per Kilonya.
  • Ibu & Anak Serta Dua Lali-laki di Tangkap Karena Konsumsi Sabu
  • Indeks
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Redaksi
Rabu, Juni 29, 2022
  • Login
NARATIF.ID
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini
No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini
No Result
View All Result
NARATIF.ID
No Result
View All Result
Home Ficer

Kisah Duka di Pinto Sa, Tiro

14 Tahun MoU Helsinki

FITRI JULIANA by FITRI JULIANA
17 Agustus 2019
A A
Share on FacebookShare on Twitter

Pria paruh baya itu tampak tak kuasa mengingat kembali kisah kelam yang menimpanya dan masyarakat selama konflik Aceh di kawasan Tiro, Kabupaten Pidie. Sembari menyeruput segelas kopi, ia sedikit terbata-bata saat menceritakan ulang peristiwa berdarah di Pintu Sa.

Yanto (bukan nama sebenarnya), mencoba membuka kembali memori kelam yang telah lama dipendam. Ia memperlihatkan bukti kekerasan yang pernah dialaminya saat Aceh dalam cengkrama Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1990-1998.

Tiga bulan lamanya dia harus menantang maut saat ditangkap pihak aparat keamanan pada tahun 1997. Masih tampak jelas bekas penyiksaan, tulang kaki dan tangannya yang tak lagi simetris.

Hingga sekarang Yanto masih merasakan kesakitan, keram pada tangan dan kakinya. Bahkan sampai tidak bisa menggerakkan atau menekuk kakinya untuk salat.

Tatapan matanya nanar. Sesekali Yanto terdiam sembari mengingat-ingat kisah kelam masa lalu. Masih tergiang dalam ingatannya suara derap langkah sepatu PDL (Pakaian Dinas Lapangan) milik tentara.

Tap tup tap tup. Suara PDL memecah kesunyian malam. Sejurus kemudian dorrrr, dorrrrr, suara letupan senjata dan suara jeritan kesakitan seakan menjadi nyanyian saban malam di Tiro, tepatnya di pos Pinto Sa.

Kata Yanto, derita itu dirasakan warga Tiro sejak  tahun 1970 hingga runtuhnya kediktatoran Presiden Soeharto. Hingga akhirnya tanggal 7 Agustus 1998 DOM di Aceh dicabut dan banyak tahanan tanpa putusan persidangan bisa menghirup udara segar.

Sebelum ditangkap aparat keamanan, Yanto menjabat sebagai Sekretaris Desa (Sekdes). Selalu orang nomor dua di desanya, beragam tekanan didapatkan. Kadang kala datang pasukan gerilyawan GAM, tak jarang juga didatangi aparat keamanan pemerintah Republik Indonesia.

Ia pun mengaku harus memiliki jurus jitu saat menghadapi kedua kelompok ini. Pasalnya, bila dirinya diketahui aparat kemanan bertemu dengan gerilyawan GAM, tentu aparat keamanan akan menaruh curiga sebagai pendukung pemerontak.

Begitu juga sebaliknya. Bila ia sering didatangi oleh aparat keamanan. Bisa saja dia dianggap mata-mata dari pemerintah Indonesia. Biasanya sering disebut massa itu sebagai ‘cuak’ (informan sipil dari masyarakat yang dipergunakan oleh aparat keamanan).

Yanto kala itu sempat resah dengan posisinya itu. Kekhawatirnya terbukti. Suatu malam selepas insya, ada tamu yang tak dikenalnya. Tak ada firasat sedikitpun dirinya diminta untuk datang ke pos aparat keamanan.

Mulai malam itu, sesuatu yang ditakuti akhirnya terbukti. Aparat keamanan menjemputnya karena dianggap pendukung pemberontak GAM. Mulai saat itu kekerasan fisik mulai mendera dirinya.

Menurut Yanto, penyiksaan yang dialami tidak manusia. Tubuhnya didudukkan di kursi dengan kaki dan tangan terikat. Lalu dipukul dengan balok dan berbagai penyiksaan lain diterima.

Bahkan suatu ketika dia digantung kepala ke bawah dalam kondisi tanpa sehelai pakaian. Hal yang sama juga dirasakan beberapa warga di desanya. Penyiksaan itu terus dialami selama 3 bulan lebih.

Penyiksaan tak hanya berhenti di markas militer di Pintu Sa. Beberapa hari kemudian dia pindahkan ke Rumoh Geudong. Di sana ia ditempatkan satu ruangan dengan beberapa tahanan lainnya atas tuduhan yang sama.

“Di rumoh Geudong juga setiap malam kami disika,” kata Yanto lirih saat mengingat kembali kisah kelam yang pernah dialaminya.

Yanto mengungkapkan, begitu sulitnya hidup di Tiro pada masa konflik Aceh. Berbagai macam penyiksaan dirasakan oleh warga di sana. Tak peduli, warga yang ditangkap itu benar atau salah. Setiap sudah dijemput, penyiksaan rutin didapatkan.

“Mereka juga menyiksa korban pada siang hari, dengan menjemur dan merendam di kolam penuh lintah, penyiksaan di luar gedung disaksikan oleh warga. Tapi seringnya penyiksaan dilakukan pada malam hari,” cerita Yanto.

Namun warga sekitar Pinto Sa dan para pekerja tidak menggubris ketika melihat ada orang yang disiksa. Bahkan tidak pernah bercerita kepada warga. Menurut Yanto itu karena mereka takut. Andai ada warga yang melihat, mereka juga tidak berani menolong.

Orang-orang yang ditahan dan disiksa adalah warga sipil yang dicurigai anggota GAM atau pernah membantu GAM. Warga sipil yang dibawa ke sana ada yang dari luar Tiro, karena pak Yanto yang asli Tiro  tidak mengenali korban yang disiksa di pos Pinto Sa.

Sementara itu Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra menyebutkan, konflik dan bencana menjadikan Aceh provinsi yang berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, istimewa dan berotonomi. Hal ini pula yang melatar belakangi kebutuhan khusus untuk terus belajar dari sejarah yang terjadi, salah satunya adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Damai Aceh berdiri atas pengorbanan-pengorbanan yang tak terceritakan dan  kisah pelanggaran HAM yang setelah 14 Tahun damai Aceh melalui kesepakatan Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki pada 15 Agustus 2005 tak lagi terdengar.

Yang berkembang hanyalah kebesaran kisah penandatanganan yang mengakhiri perang. Mendengar cerita bagaimana kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan itu terjadi. Tau lokasinya dan juga bertemu dengan para pelaku sejarah konflik Aceh, semua ini perlu diwarisi atau disebarkan sebagai narasi edukatif kepada generasi muda dan orang banyak.

Agar menjadi pengetahuan yang terjaga dan tak menjadi dongeng pelanggaran HAM. Dan agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari.

“Untuk itu kami menyelenggarakan kegiatan Jurnalis Visit ini, dan diselenggarakan dengan semangat damai. Kami bukannya ingin mengungkit penyiksaan yang dilakukan, kami hanya ingin pelanggaran HAM itu tidak menjadi dongeng di masa mendatang. Kita di sini mendengar, belajar lalu menceritakan kembali kisah-kisah yang hampir terkubur di Pinto Sa Tiro,” jelas Hendra Saputra.[]

Baca: Pesona Tiro di Balik Kisah Kelam

BACA JUGA

Infografis Stunting (Sumber: Kemenkes).
Headline

Pemerintah Alokasikan Rp44,8 Triliun untuk Penurunan Stunting Tahun 2022

14 Juni 2022
Logo Kemenperin RI. (Ffoto :Ist).
Headline

RI Incar Pasar Ekspor CPO dan Minyak Goreng ke Pakistan

14 Juni 2022
Headline

Petugas Siap Layani Jemaah di Makkah

12 Juni 2022
Presiden Jokowi lantik Dewan Pengarah serta Kepala dan Wakil Kepala BPIP Masa Jabatan Tahun 2022 – 2027, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (07/06/2022). (Foto: Humas Setkab/Jay).
Headline

Presiden Lantik Kepala dan Wakil Kepala BPIP Masa Jabatan 2022-2027

7 Juni 2022
Waseskab Fadlansyah Lubis saat mengikuti Raker dengan Komisi II DPR RI, Kamis (02/06/2022), di Ruang Rapat Komisi II Gedung Nusantara DPR RI, Jakarta. (Foto: Humas Setkab/Rahmat).
Headline

Setkab Pangkas Belanja APBN Rp16,32 Miliar

2 Juni 2022
Headline

Pemko Sabang Raih WTP Ke-10 Kali Berturut-Turut dari BPK RI

20 April 2022
Next Post

Rapai Geleng Massal di Aceh Barat Daya

Berita Populer

No Content Available
NARATIF.ID

© 2019.

  • Beranda
  • Indeks
  • Redaksi
  • Kode Etik

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini

© 2019.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In