• #5380 (tanpa judul)
  • Beranda
    • Dinsos Aceh Salurkan Bantuan Banjir untuk Aceh Barat, Nagan Raya, dan Abdya
  • Harga Gula Di Aceh Capai 17 Ribu Per Kilonya.
  • Ibu & Anak Serta Dua Lali-laki di Tangkap Karena Konsumsi Sabu
  • Indeks
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Redaksi
Kamis, Mei 26, 2022
  • Login
NARATIF.ID
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini
No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini
No Result
View All Result
NARATIF.ID
No Result
View All Result
Home Ficer

Catatan di “Penjara” Suci

Redaksi by Redaksi
16 Oktober 2019
A A
Share on FacebookShare on Twitter

Sore itu, senja merambat pelan, pertanda malam segera tiba. Tas jinjing di tangan, tampak ratusan mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry tak sempat saling menyapa. Semua buru-buru memindahkan barang bawaan ke dalam loker besar di ruangan.

Ranjang bertingkat tersusun rapi dipasangi seprai warna-warni. Ada lima hingga tujuh ranjang, yang diisi sepuluh hingga empat belas orang setiap kamar.

Senja itu hari pertama mahasiswi UIN Ar-Raniry masuk “penjara” suci. Kegiatan wajib mahasiswi UIN Ar-Raniry yang memulai program pesantren kampus.

Saya yang hari itu juga mengikuti program ini, kemudian mengabadikan setiap moment dalam tulisan.

Belum sampai satu malam. Ucapan “Sepertinya aku nggak betah di sini.” Suara itu terdengar dari setiap penjuru ruangan. Setidaknya ada satu hingga dua orang di setiap kamar yang mengatakan hal serupa.

Riska Zulfira salah satunya. Sahabat saya itu memang terkenal manja. Ia mahasiswi asli Aceh Besar, berbeda dengan saya yang sudah biasa jauh dari keluarga.

Hari itu, Riska dipaksa untuk membiasakan dirinya bermalam di asrama. Padahal selama ini, jarak rumah dengan kampus yang tidak begitu jauh, menjadi pilihan dirinya untuk pulang-pergi ketimbang menyewa rumah. Mau tidak mau, demi meraih gelar sarjana yang diimpikan, ia turuti saja setiap program yang dibuat oleh pihak kampus.

Sialnya, sejak pendaftaran hingga masuk asrama, kami selalu berbarengan, berharap bisa berada di kamar yang sama. Tapi hari itu, tidak hanya kamar, saya dan Riska bahkan terpisah gedung.

Jarak gedung kami berselang satu gedung lagi. Saya sedikit lebih beruntung dari Riska, di dalam kamar, sudah ada dua orang teman yang saya kenal. Akhirnya saya dan Riska hanya akan bertemu ketika berkumpul di musala.

“Mulai malam ini, nggak ada lagi yang bicara pakai aku, kamu. Semuanya harus mulai diubah. Nggak ada juga yang boleh pakai bahasa daerah. Sekurang-kurangnya campuran Indonesia-Arab, atau Inggris-Indonesia,” ujar pembina asrama malam itu, selepas salat magrib berjamaah.

Mahasantri di sini dibina  oleh dua orang ustadzah dan tiga orang musyrifah, kami kerap memanggilnya dengan sebutan ‘ukhti’ atau dalam bahasa Indonesia berarti saudara perempuan (kakak).

“Mulai besok, setiap keluar dari gerbang asrama juga wajib pakai kaos kaki. Jilbab harus dibesarin sampai tutup dada. Ustadzah tau nggak mudah, tapi pelan-pelan. Senggaknya dilakukan selama jadi mahasantripun nggak papa. Syukur Alhamdulillah kalau pas sudah keluar asrama pakaian syar’i nya masih diteruskan,” lanjut Elly Aryanti, salah satu ustadzah pembina di sana.

Malam itu mau tidak mau, kami mulai beradaptasi dengan penggunaan panggilan baru. Sesekali bahasa anak muda yang kerap dipakai di kampus tidak sengaja terucap.

Tidak banyak kegiatan hari pertama. Sebagian menyicil surah-surah dari juz 30 yang sudah dihafal jauh-jauh hari. Hingga satu bulan kedepan, kami juga harus mendalami dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Kegiatan malam baru berakhir sekitar pukul setengah sepuluh. Mahasantri baru menikmati makan malam di jam itu. Sebelum tidur, biasanya menyempatkan waktu berbincang sebentar, hingga pukul dua belas.

Saya memilih tidur lebih cepat dari teman yang lain. Baru akan berangkat tidur, ponsel saya bergetar. Sebuah pesan masuk, ternyata dari Riska.

“Sal, aku nggak bisa tidur. Di kamarku lampunya dimatikan, aku takut. Kipas di atas tempat tidurku juga berdebu, debunya berjatuhan ke muka,” katanya.

Bukannya menenangkan, saya justru menakutinya “Hati-hati, takutnya ada yang bergantung di  atas kipas, nanti bukan debu lagi yang jatuh, tapi rambut,” seloroh saya.

Sontak ia marah, dan menyuruh saya lebih baik tidur daripada membalas pesannya. Asrama memang kerap memiliki konotasi negatif dengan suasananya yang terlihat horor.

Pagi-pagi sekali kami harus bangun lebih cepat dari biasanya, mengantri giliran menggunakan toilet. Hanya ada empat kamar mandi di setiap gedung. Satu gedung bisa dihuni hingga tiga puluh orang.

Dinding di koridor gedung menuju kamar mandi dijadikan layaknya tempat tidur berdiri, bersandar di sana sambil sesekali memejamkan mata, berupaya menghilangkan sisa-sisa kantuk yang masih menyerang.

Selepas salat subuh berjamaah, agenda rutin kami selanjutnya membaca almatsurat, kultum, dan mahasantri diwajibkan kembali untuk mengulang hafalan. Kegiatan ma’had baru berakhir pukul delapan. Kami  hanya punya waktu satu jam untuk sarapan, berkemas dan melanjutkan kegiatan wajib selanjutnya.

Program Wajib Kampus

Sejak 2013, UIN Ar-Raniry Aceh mulai mewajibkan seluruh mahasiswanya untuk mengikuti program ini, baik putra maupun putri.

Bermalam di asrama kampus atau kerap disebut ma’had. Sebelumnya mahasiswa menjalani aktifitas asrama mulai pukul 18.00 WIB hingga 07.00 WIB. Selebihnya mereka diberi kebebasan untuk beraktifitas di luar asrama, sehingga di siang hari mereka tetap melakukan aktifitas seperti biasa baik di kampus maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Kegiatan ini berlaku selama kurang lebih enam bulan atau satu semester.

Namun, sejak 2019, program ini dipecah menjadi dua kelas, reguler dan non reguler. Untuk mahasiswa yang dinyatakan lulus non reguler yaitu dengan bukti kelulusan baca Al-Qur’an, diwajibkan mengikuti program ini selama libur perkuliahan, dengan waktu satu bulan dan penuh di asrama selama 24 jam.

Program ini diadakan sebagai program tambahan UIN Ar-Raniry yang diharapkan akan menjadi program pendidikan yang akan melahirkan bibit-bibit intelektual muda yang Islami.

Mahasiswa yang memaksakan diri untuk tidak mengikuti program ini, terancam tertahan ijazah kelulusannya. Maulizar salah satunya, mahasiswa lulusan Ekonomi Syariah angkatan 2014. Meskipun telah diwisuda, ia belum bisa menerima ijazah UIN, karena hingga diwisuda ia bahkan belum mengikuti program asrama sama sekali.

“Malas aja tidur di asrama, tapi sekarang akhirnya harus tanggung risiko sendiri, ijazah tertahan. Mau nggak mau, walaupun udah tamat, harus daftar ulang program asrama,” katanya.

Sementara itu, Zhufar juga mengalami hal yang sama, ijazahnya tertahan meski telah diwisuda, bedanya ia sudah mengikuti kegiatan asrama, hanya saja nilainya tidak mencukupi.

“Harus remedial aku, nggak cukup nilai,” katanya.

Meskipun tidak jauh berbeda dengan pesantren,  namun di pesantren kampus, penggunaan alat elektronik seperti gadget masih diperbolehkan, asal tidak digunakan ketika kegiatan asrama sedang berlangsung.

Mahasiswa yang turut dalam program ini berasal dari jurusan bahkan fakultas yang berbeda. Berawal dari rasa tak enak sebab harus tinggal selama berhari-hari dengan orang baru, namun seiring berjalannya waktu, keakraban terjalin satu sama lain.

“Aku sebenarnya suka di asrama, tapi yang bikin ngerasa nggak betah karena banyak kegiatannya,” ujar Mitha.

Pada akhirnya para mahasiswa rela menghabiskan waktu di asrama dan tuntas menyelesaikan seluruh kegiatannya.

Itu dilakukan agar mereka menjadi sarjana seperti yang diharapkan. Good Luck!

Penulis: Cut Salma Bahri

BACA JUGA

Headline

Pemko Sabang Raih WTP Ke-10 Kali Berturut-Turut dari BPK RI

20 April 2022
Presiden Jokowi saat menyampaikan Pidato pada The P4G Partnering for Green Growth and the Global Goals 2030 Summit, Minggu (30/05/2021). (Foto: BPMI Setpres).
Headline

Presiden RI Menjadi Anggota Champions Group PBB

15 April 2022
Headline

Wali Kota Sabang Apresiasi Rumoh Restorative Justice Kejari Sabang

1 April 2022
Ficer

Wali Kota Sabang Lepas Peserta Trail Pesona Sabang Adventure 2022

19 Maret 2022
Editorial

PAD Hasil Pajak Hotel dan Restoran di Sabang Akan Segera Dibenahi

15 Maret 2022
Editorial

Wali Kota Sabang Menerima Anugerah Serambi Award 2022

11 Maret 2022
Next Post
Ilustrasi. Foto Tribunnews

Pemkab Pijay Jemput Bola Buat Kartu Identitas Anak

Berita Populer

News

Maknai Hari Kebangkitan Nasional, Sekda Kota Sabang Ajak Warga Bangkit Dari Pandemi Covid-19

20 Mei 2022

38 Mentri Kabinet Kerja Jilid Dua Dilantik Presiden Jokowi

23 Oktober 2019
Suasana warung kopi di Banda Aceh. (foto naratif)

Semiskin Orang Aceh, Masih Bisa Santai di Warung Kopi

18 Januari 2020
Peta Zona Merah Bencana

Ramai-Ramai Membangun Hunian di Zona Merah Bencana

25 Desember 2019
Direktur Pembinaan Masyarakat (Dirbinmas) Kombes Pol Burhanuddin membuka Diklat Satpam Gada Pratama Angkatan XIV tahun 2019 yang diselenggarakan PT Jannata Group Indonesia, Ule Tuy, Darul Imarah, Aceh Besar, Senin (9/12/19).

Satpam Wajib Gada Pratama

9 Desember 2019
NARATIF.ID

© 2019.

  • Beranda
  • Indeks
  • Redaksi
  • Kode Etik

No Result
View All Result
  • Beranda
  • News
    • Ficer
  • Indepth
    • Investigasi
  • Editorial
  • Wawancara
  • Opini

© 2019.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In