Hentakan tambur berpadu dengan bunyi simbal dan dentuman keras gong, menyita perhatian warga yang melintas di kawasan Peunayong, Kota Banda Aceh.
Dari atas mobil pick up, bunyi itu menuntun dua orang di balik boneka berkepala singa, berbadan naga. Dua orang itu adalah penari barongsai yang meliuk-liuk menghibur penonton. Sesekali penari di belakang, mengangkat penari depan tinggi-tinggi.
Sekerumunan penonton mendekat. Pengendara yang melintas memilih berhenti. Jalanan macet. Barongsai menjadi perekat toleransi di Serambi Mekkah. Tak ada sekat, semua berbaur menyaksikan atraksi itu.
Lepas ashar, ibukota provinsi yang menerapkan Peraturan Daerah (Perda) hukum syariat Islam itu, riuh rendah merayakan hari raya pemuluk agama Budha.
Peunayong, kawasan sejak masa Kerajaan Aceh Darussalam sudah banyak dihuni warga Tionghoa itu perayaan Imlek 2019 dihelat.
Warga Tionghoa banyak bermukim di sana. Mereka hidup dengan mata pencaharian niaga. Sebagai pusat ekonomi terbesar di Serambi Mekkah, perputaran uang di Peunayong banyak dihasilkan oleh mereka.
Dari puaknya yang menapak ke Serambi Mekkah ratusan tahun silam itu, kini warga Cina di Banda Aceh berjumlah ribuan orang. Berbaur dengan warga lokal. Juga dengan keturunan etnis lain yang ada di Aceh. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memutuskan pindah keyakinan. Masuk agama mayoritas yang dianut masyarakat Aceh.
Bukan karena paksaan. Melainkan setelah berbaur dan mengenal Islam keputusan itu diambil.
Yang masih beragama Budha, Khonghucu, atau Kristen, tak pula diusik kepercayaannya. Fasilitas semacam rumah ibadah berdiri layak di daerah yang kental dengan nuansa Islamnya tersebut. Hingga kini, terdapat empat Vihara di Peunayong.
Pada Senin malam (4/2/2019) tepat pukul 12.00 WIB, ribuan warga Tionghoa di Banda Aceh memadati Vihara Dharma Bhakti. Ini adalah Vihara paling besar. Lampion merah tergantung di langit-langit bangunnya. Asap dupa menyembul di seluruh sisi ruangan. Rumah ibadah yang terletak di tengah jantung Kota Banda Aceh itu dipadati warga yang ingin sembahyang.
Di Vihara lain juga ramai. Ratusan orang terlihat kusyuk sembahyang. Sama seperti di Vihara Dharma Bhakti, Vihara Maitri, Dwi Samudera dan Sakyamuni disolek dengan ornamen-ornamen khas Imlek. Di empat Vihara tersebut suasana hikmat dan damai menyelimuti perayaan tahun baru Cina 2570.
Ketua Vihara Dharma Bhakti, Yuswar mengatakan dari tahun ke tahun perayaan Imlek di Banda Aceh selalu berjalan aman. Ritual ibadah serta kebudayaan khas Imlek tak pernah diusik oleh masyarakat Aceh.
“Selalu perayaannya berjalan aman, damai, meskipun kami jumlahnya sedikit. Nggak ada gangguan. Orang-orang di Aceh ini sama-sama menghargai dan mendukung,” katanya.
Sebagai warga Aceh, Yuswar mengharapkan agar terus dapat diayomi oleh mayoritas masyarakat di sini yang memeluk agama Islam.
“Sebaliknya, kami harus pula menghormati, menghargai, apa-apa yang diterapkan di Aceh, semisal penerapan hukum syariat Islam,” sambungnya.
Yuswar juga bilang, masyarakat Aceh sangat senang kala Imlek datang. Sebab ada pertunjukkan barongsai. Masyarakat menunggu-nunggu tarian dengan kostum singa berbadan naga itu.
Dua hari sebelum Imlek, yayasan HAKKA Aceh, paguyuban terbesar tempat bernaungnya orang-orang Tionghoa, telah menyebar selebaran titik-titik lokasi pertunjukkan barongsai.
Berbekal informasi itu, bersama Abik, teman saya yang berprofesi sebagai jurnalis foto, kami menyambangi lokasi pertunjukkan barongsai. Sayangnya tiba di sana atraksi belum mulai. Kami putuskan ngopi dulu di sebuah warung tak jauh dari lokasi. Menungggu kedatangan singa berbadan naga yang dipercaya bisa mengusir roh-roh jahat tersebut.
Selang belasan kali meneguk kopi, saya melihat mobil pick up warna biru melintas di depan warung. Mobil itu langsung menyita perhatian banyak orang. Beberapa pelintas jalan juga tersita pandangannya. Memilih berhenti.
Serombongan remaja turun dari mobil. Mereka mengenakan pakaian dengan tulisan Golden Dragon di punggungnya.
Mereka bersiap. Dua orang di antaranya, remaja laki-laki, sejurus kemudian masuk ke dalam kostum singa. Yang lain pegang kendali memainkan alat musik.
Penonton kian merapat. Mengeluarkan HP masing-masing. Ingin mengabadikan atraksi itu. Anak-anak berlarian mendekat. Ada yang takut. Ada juga yang tertawa senang.
Gong dipukul. Suara simbal menghentak. Barongsai menari. Penonton terkesiak.
Di depan ruko seorang warga etnis Cina, permainan barongsai itu berlangsung. Sejenak menari-nari di depannya, barongsai itu lalu masuk ke dalam.
Orang-orang Cina percaya, barongsai mampu mengusir roh jahat yang bisa menghambat datangnya rezeki.
Maka tiap Imlek begini, mereka sengaja mengundang barongsai datang ke rumah atau tempat usahanya. Di sana nanti mereka menyediakan uang dalam amplop warna merah. Di letakkan di suatu tempat. Barongsai lalu mengambilnya.
Sejak pagi hingga menjelang sore, tim barongsai Golden Dragon di bawah binaan Yayasan HAKKA Aceh telah menghibur warga. Di beberapa titik saat unjuk aksi mereka dikerumuni banyak penonton.
Warga dari beragam etnis berbaur menyaksikan atraksi tersebut. Tua maupun muda. Yang paling merasa terhibur tentu anak-anak.
“Lumayan lelah. Dari pagi belum berhenti main barongsai. Ini satu tempat lagi nanti baru selesai,” kata Ratih Purwasih (21) pemukul simbal di tim Barongsai Golden Dragon, Selasa sore (5/2/2019).
Uniknya, Ratih ini adalah perempuan Aceh dan beragama Islam yang ikut tergabung dalam tim. Mengenakan jilbab, dia tak canggung dan terlihat lincah memainkan simbal menuntun singa barongsai menari.
Meski lelah, wajah Ratih yang berlumuran peluh tersenyum kepada warga yang menonton. Pukulan simbalnya semakin semangat. Baginya kesenian barongsai kini tak lagi hanya sekedar permainan melainkan telah menjadi hobi.
Perempuan yang sudah menekuni barongsai sejak 7 tahun lalu itu pun kini menjadi salah satu atlet andalan di Federasi Olahraga Barongsai Indonesia (FOBI) Aceh.
“Enak [main barongsai], kayak olahraga juga kan,” katanya.
Salah seorang warga Banda Aceh, Zhafira, yang menonton pertunjukkan Ratih dan timnya bermain barongsai mengaku terhibur. Dia larut dengan atraksi barongsai yang meliuk-liuk dan sesekali meloncat itu.
Zhafira mengatakan kesenian barongsai milik etnis Tionghoa ini mampu memecahkan sekat antar agama. “Di sinilah uniknya. Terciptanya toleransi antar umat beragama meskipun berbeda. Lihat tuh, yang nonton banyak pakai jilbab kan,” ujar Zhafira, seraya memainkan ekor matanya, menuntun pandangan saya pada penonton yang kebanyakan adalah perempuan muslim berjilbab.[]
Penulis : Alfath Asmunda
Editor : A.Acal
Note: tulisan ini sudah pernah dimuat di blog http://www.alfathasmunda.com
Discussion about this post